Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2024

Senja di Dermaga

  Jadi, manakah yang kau sebut dengan "setia"? Janji untuk bersama atau hanya sematan logam di jari kita? Kali ini senja di dermaga begitu dingin. Namun airnya punya hangat yang sama dengan peluk seseorang  Layaknya dayung patah, kusandarkan bahu pada kayu dermaga yang tak lagi utuh Teringat janji yang diikrarkan seraya batin berbisik " selamanya" Semuanya seakan terkikis habis disapu ombak Katanya ombak itu penghasut Tapi, jika memang berlayar bukan tujuanmu, tidak perlu kau buka lebar layar-layar itu Maksud hati ingin menyimpanmu selamanya  Namun sayang, ternyata jangkarmu tidak cukup dalam tertambat Sekuat-kuatnya aku berlari raga ini hanya mampu mengantarmu berlayar menjauh dari teduhnya senja di dermaga, melepas hangat dan manisnya swastamita yang dulu kita beri nama "cinta" Sekali lagi, jika tenggelam aku dibuatnya, mana yang akan kau angkat duluan?  Tanganku atau jangkarmu?

Desember

Desember adalah stasiun paling sibuk November, oktober, september, agustus, juli, juni, mei, april, maret, februari, januari, saling berjabat tangan, berpelukan, mengucapkan selamat jalan sembari menenteng koper-koper harapan sebagai buah tangan Desember disambut lampu warna-warni, diiringi lagu-lagu sendu, dicintai sunyi, dihadiahi memori Perannya sebagai penghujung, tugasnya sebagai telinga dan pundak Melihat februari jatuh hati, mendengar omelan maret sampai kisah gerimis di bulan juni, hingga menyimpan kenangan bulan-bulan musim gugur Sebentar lagi pukul 00.00 Pesta digelar, kembang api dinyalakan, beribu-ribu doa di panjatkan Semesta menyelinap dari kerumunan, melepas desember dengan pelukan

Kita, Persimpangan, dan Ujung Jalan

Puan, kita bertemu di persimpangan, ditemani burung-burung yang bersenandung, dan bunga-bunga yang berdansa Puan lincah menari, sedang saya lihai bersembunyi Puan mencintai mentari, sedang saya terbiasa mencumbu bulan Puan, mengapa fajarmu selalu terbit terbahak-bahak, sedangkan senjaku datang diteriaki sunyi?  Kita bertemu di persimpangan dan berpisah di ujung jalan Saya harap tidak ada lagi halaman pertama serta perih yang sama Jika kosong dan hambar menyesaki semestamu, buang saja risau itu, bukankah bulan selalu tau bagaimana cara menemukan malam?

Venetie Van Java

  Kota kelahiranku tidak begitu suka bersolek, jarang mengenakan gedung-gedung megah pencakar langit Hanya gemar mempercantik diri dengan bangunan-bangunan kuno dan lampu jadul Lihat saja pesona taman Srigunting dan pemandangan di sepanjang jalan Letjen Suprapto Sederhana, tidak neko-neko, anggun Kalau tiba waktunya senja tampil di angkasa, cantiknya luar biasa Udara kala itu jika sedikit saja terhirup, hangatnya dapat merayu siapapun agar tetap tinggal  Konon, jika bintang-bintang sedang jatuh hati, langit akan menunjukkan bagaimana bulan tersipu malu Kota kelahiranku selalu mampu mencintai dan memeluk pulangku Kota kelahiranku seringkali dipanggil "ibu"

Bandung

Mungkin benar adanya bahwa bumi pasundan lahir saat Tuhan tersenyum  Apapun yang ada di kota ini seperti punya sihir yang dapat menarik siapapun untuk mengukir kenangan  Layaknya album foto raksasa, kenangan apa saja tertata rapi di dalamnya Bandung adalah sebuah judul yang bercerita tentang apa, siapa, kapan, di mana, bagaimana,    dan mengapa. Pantas saja perasaan apapun selalu larut jadi gerimis Bisa jadi, jika yang jatuh berasal dari bahagia, benih dan tananahnya bisa saling jatuh cinta Tidak heran banyak sekali bunga-bunga cantik bermekaran di sini Tapi jika yang jatuh berasal dari duka, mungkin hujan turut menangis bersamanya Bandung tempat orang jatuh cinta, Bandung tempat orang patah hati Ada yang mendambakan romansa dihiasi gerimis kota ini Ada yang memohon agar Bandung jangan menangis lagi Mungkin untuk seseorang, seluruh hatinya mekar di sana Mungkin juga untuk sesorang, perasaannya pupus di sana Bandung adalah sebuah melodi yang bersenandung tentang duka ...

Rahwana bisa jadi siapa saja

Nyatanya ada yang pernah jadi Rahwana Mencintai seseorang yang bukan miliknya Mencintai rindu yang tiada habisnya Mencintai sementara yang mustahil jadi selamanya Nyatanya hadiah seindah Argasoka saja gagal  Mungkin bukan soal apa yang telah diberikan Mungkin bukan soal waktu yang dihabiskan Mungkin juga bukan soal usaha yang dilakukan Bisa jadi memang dia tidak ditakdirkan berada di istanamu Bisa jadi memang dia tidak ditakdirkan merajut bahtera bersamamu Bisa jadi memang kamu hanya ditakdirkan untuk mengisi satu cerita dalam hidupnya Mencintai kemustahilan memang membutuhkan keberanian sekeras baja dan kerelaan sedalam samudra Meski akhir cerita tidak dapat diubah, setidaknya semuanya cukup untuk membuktikan kualitas seseorang dalam mencinta 

Raseksa dari Alengka 2

"Sinta, sudahkah kau mencintaiku?" "Sinta, sangat sulitkah bagimu untuk melihatku barang hanya sebentar?, mendengarkan syair yang aku tulis barang hanya sepenggal kalimat?" "Sinta, terkutukkah rupaku? Sehingga memandangku pun tak ingin?" "Sinta, seburuk itukah aku? Sehingga mencintaimu begitu menyakitkan?" "Sinta, sudahkah kau mencintaiku hari ini?" Kisah Ramayana ini memang bisa dilihat dari dua sudut pandang. Namun kali ini yang menarik adalah sudut pandang dari raja Alengka, Rahwana. Kisah yang sama dengan "rasa" yang berbeda.  Rahwana seringkali dikenal sebagai tokoh antagonis yang merebut Sinta dari suaminya, Rama. Tapi sebenarnya apa yang menjadi motivasi terbesar Rahwana untuk menculik dan menawan Sinta? Menghadiahi Sinta dengan taman Argasoka yang katanya indahnya melebihi sorga, dan bahkan selama 13 tahun tidak sekalipun Rahwana "menyentuh" Sinta.  Usut punya usut ternyata Sinta adalah titisan dari dewi Wida...

Raseksa dari Alengka

Barangkali Sang Hyang Widhi mengabulkan permintaanku  Aku ingin menulis syair terakhir yang akan kulipat rapi berhiaskan bunga kesukaanmu  Barangkali Jatayu memilih untuk tidak berseteru, alih-alih menyimpan sajak terakhirku  Sebelum brahmastra menembus dadaku Sebelum mantranya menebas habis sukmaku Sebelum genangan luka melarung jasadku Satu dasawarsa lebih aku berusaha memuliakanmu  Meyakini bahwa "Wiwiting tresna jalaran seka kulina" mampu meluluhkan gunung-gunung beku dalam hatimu Meski kembang tujuh rupa dan tumpukan syair hanya dibalas tepisan punggung tanganmu Maka, aku rela jika memang dengan maut diri ini berjodoh Asmaraku terlanjur menjulang megah Jika adinda bertanya, melebihi cakrawala jawabannya  Pujaan hatiku kembali ke pelukan Ayodya yang meragukan kesuciannya Naraka melebur puing-puing Argasoka, menyaksikanku gugur atas nama cinta