Postingan

Padam yang ingin hidup

Hal yang paling melelahkan: Mengejar dunia yang seharusnya berputar disampingmu Selama hidup didalamnya, neraca itu tidak pernah setara Tak ingin bangun Jika pagi artinya belenggu Jika seolah pasung berlapis emas, artinya tujuan tertinggi Bagi bunga yang masih ingin bermimpi Tidak ingin menjadi milik, tapi makna Tiap tangan-tangan ini memegang kemudi,  bising mereka menjadi-jadi seolah jari-jari tak layak menggenggam arah. Tiap kali itu pula, Asa ini ditikam Mati Hidup Mati Lalu, hidup lagi Sehingga yang menakutkan, bukanlah maut Tapi hidup, yang membeku  dalam bentuk  yang bukan aku. 

Untitled Lullaby

  Saat dunia lelap, Aku terjaga— sibuk bercengkrama dengan sunyi Dingin menyapaku lebih dulu daripada hangat, lebih akrab dari tawa, lebih hafal namaku. Kopi pahit dan surat-surat tanpa alamat Pusara perasaan, nisan berhiaskan bunga,  dan gema tanpa nama. Jiwaku nyaris telanjang Karena konon katanya: "Cinta itu buta"   Helaan nafas, gerimis di sudut mata, kini senada dengan warna favoritku— gelap .   Jika nadiku diketuk lebih kencang melalui derit pintu  dan jam-jam tua yang tak lagi diberi waktu, Maukah hampa bertukar posisi dengan peluk?  Biar sepenggal nafasku jadi doa— diiringi syair-syair tanpa tajuk Segala apa, kenapa, siapa, kapan, dan bagaimana Dieja tanpa jeda Lalu, sampai rebah, sukmaku menjadi  ucapan selamat malam, paling manis,  untuk sunyi. 

Laporan Terakhir untuk Panglima Tertinggi

Lapor, Komandan! Dengan segala hormat, saya sampaikan surat ini dari parit terdalam di garis terdepan.  Malam ini begitu gelap dan dingin, dengan pena yang hampir habis tintanya, saya goreskan kata demi kata diiringi dentuman dan siulan mesiu.  Kali ini, sebagai seorang serdadu, saya kehilangan kendali Saya balas peluru ganti peluru, pedang ganti pedang, menembakkan kebenaran pada dinding-dinding bisu yang ternyata bukan taktik terbaik Keangkuhan saya adalah bentuk kelemahan yang tidak seharusnya saya bawa  Saya tersesat, Komandan Maka, dari laporan ini saya menyatakan bahwa saya tidak melarikan diri, hanya memutuskan untuk mengibarkan bendera putih Komandan, saya menyerah Tanpa senapan, tanpa pasukan, tanpa strategi Hanya seragam lusuh, ber-alas harapan Ternyata perang ini bukan lagi milik saya Saya tidak ingin bertempur untuk memenangkan hal yang tak sepadan, yang membuat saya kehilangan jiwa, kehilangan Engkau Sekarang, semua kendali saya serahkan sepenuhnya Medan ini ...

Selamat, kamu pemenangnya

Kaulah pemenang dalam medan pertempuran ini Labirin yang mendorongku ke ujung tebing Tiada perisai yang melindungi  Batinku kalah berdarah-darah "Sampai sehancur apa?"  Asaku rata dengan tanah Dikubur dalam pusara berhiaskan bunga-bunga layu untukmu Kupersilahkan cintamu menghujani tubuhku  Agar aku paham apa itu lara Sebelum perasaanku mati sia-sia Sekali lagi  Untuk yang terakhir kalinya aku berdoa agar rasaku tenggelam, hilang dalam samudra yang tak ingin ditemukan Agar egomu memahami apa itu kehilangan

6.9855°S 110.4141°E

  Ada lokasi yang tak pernah berubah Tak peduli berapa kali kuhapus dari petaku, titiknya selalu bersajak tentang kamu Namamu adalah belati bermata dua, mencumbu dengan cara paling lara, dan aku pengembara yang gemar merapalkannya Berapa kali langkahku berhenti, sebanyak itulah    tanya yang sama memenuhi sanubari  "apakah suaraku masih tertinggal di sela-sela rindumu?" Kamulah utara yang tak akan pernah jadi selamanya Sedang akulah selatan yang selalu tersingkir pelan-pelan Aku salah, menandai bujur dan lintangmu dengan jantungku Menyimpan potongan yang menyerupaimu dalam sebuah lagu Meskipun degup yang kupersembahkan hanya terdengar seperti kompas rusak Percayalah, aku bahagia pernah menjelma sebagai buku harian favoritmu yang halamannya jauh lebih banyak dari dari usiaku Jika suatu hari rindumu tak kunjung sembuh Cobalah berjalan tanpa tujuan di sini, tempat di mana seluruh perasaanku berlabuh Biarkan angin menggenggam lembut tanganmu, sama seperti yang kulakukan ...

Dia

Dia   Menemukanku terjebak puing-puing reruntuhan yang kusebut “diriku sendiri” Mendengar pahitku melolong sendirian, memapah harapan yang patah Memeluk palung tergelapku, menerbitkan fajar ganti nestapa Membiarkan paku menembus tanganNya, dan berbisik “kini lukamu sembuh” Menerima cambuk membabat habis pertahanan terakhirNya, lalu tersenyum ke arahku "kamu anak kesayanganku" Di altarMu, kutemukan namaku abadi dalam sebuah buku  Berkali-kali aku hilang, salibMu selalu menggendongku pulang

Anak Laki-Laki Kesayanganku

Waktu memaksaku berlari, bermain kejar-kejaran di tengah derasnya hujan dan teriknya mimpi-mimpimu Aku berlomba dengan ketidakpastian Aku bersaing dengan masa mudamu Mengalah dengan berbagai mainan yang kau tinggalkan entah dimana  Menginginkan yang ini, lalu mengejar yang itu Menggenggam yang ini, lalu memburu yang itu Mungkin saat ini lelah tidak ada dalam daftar keinginanmu Aku yang terlalu lambat atau jangan-jangan ambisi adalah bahan bakar terbaikmu? Mungkin tenaga-tenaga itu sudah terkumpul sejak dulu, sejak pertama kali kau menimangku